Rabu, 16 Desember 2015

Makalah Hukum Perdata



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Suatu kenyataan hidup bahwa manusia itu tidak sendiri. Manusia hidup berdampingan, bahkan berkelompok-kelompok dan sering mengadakan hubungan antarsesamanya. Hubungan ini terjadi berkenaan dengan kebutuhan hidupnya yang tidak mungkin selalu dapat dipenuhi sendiri. Kebutuhan hidup manusia bermacam-macam, pemenuhan kebutuhan hidup tergantung dari hasil yang diperoleh melalui daya dan upaya yang dilakukan. Setiap waktu manusia ingin memenuhi kebutuhannya dengan baik. Kalau dalam saat bersamaan dua manusia ingin memenuhi kebutuhan yang sama dengan hanya satu objek kebutuhan, sedangkan keduanya tidak mau mengalah, bentrokan dapat terjadi. Suatu bentrokan akan terjadi kalau dalam suatu hubungan, antara manusia satu dan manusia lain ada yang tidak memenuhi kewajiban.[1]

Oleh karena itu, dibutuhkan hukum yang mengatur hubungan manusia antar manusia, atau manusia antara kelompok ini agar dapat mencegah terjadinya suatu bentrokan serta mengatur hak-hak manusia atau individu. Dalam hal ini dikenal dengan hukum perdata, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum antar orang yang satu dengan orang yang lain di dalam masyarakat. Namun dalam hal ini penyusun memfokuskan pembahasan hukum perdata dalam hal hukum keluarga.
Terbentuknya suatu keluarga itu karena adanya perkawinan.  Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang bahagia. Sehingga Keluarga dalam arti sempit artinya yaitu sepasang suami istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, tetapi tidak mempunyai anak juga bisa dikatakan bahwa suami istri merupakan suatu keluarga.
    Sedangkan definisi hukum kekeluargaan secara garis besar adalah hukum yang bersumber pada pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini dapat terjadi  karena pertalian darah, ataupun terjadi karena adanya sebuah perkawinan. Hubungan keluarga ini sangat penting karena ada sangkut  paut nya dengan hubungan anak dan orang tua, hukum waris, perwalian dan pengampuan.[2]
B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian hukum keluarga?
2.      Sumber-sumber hukum keluarga?
3.      Asas-asas hukum keluarga?
4.      Apa saja yang termasuk dalam hukum keluarga?
           
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Keluarga
Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan kata  familierecht (belanda) atau law of familie (inggris).[3] Istilah keluarga dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak istri, sedangkan dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat dekat.[4] Ali affandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai “Keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).[5]
Ada dua pokok kajian dalam definisi hukum keluarga yang dikemukakan oleh Ali Affandi, yaitu mengatur hubungan hukum yang berkaitan (1) kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat pada beberapa pada beberapa orang yang mempunyai leluhur sama, dan (2) perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suami).
Adapun pendapat-pendapat lain mengenai hukum keluarga, yaitu:
a.       Van Apeldoorn : Hukum keluarga adalah peraturan hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga
b.      C.S.T Kansil : Hukum keluarga memuat rangkaian peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup kekeluargaan
c.       R. Subekti : Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan
d.      Rachmadi Usman : Hukum kekeluargaan adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai hubungan antar pribadi alamiah yang berlainan jenis dalam suatu ikatan kekeluargaan

B.     Sumber Hukum Keluarga
Pada dasarnya sumber hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tertulis adalah sumber hukum yang berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat. Sedangkan sumber hukum tak tertulis adalah sumber hukum yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Sumber hukum keluarga tertulis, dikemukakan berikut ini
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
2.      Peraturan Perkawinan Campuran (Regelijk op de Gemengdehuwelijk),Stb.1898 Nomor 158
3.      Ordonasi perkawinan Indonesia, Kristen, Jawa, Minahasa, dan Ambon, Stb.1933 Nomor 74
4.      UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (beragama Islam)
5.      UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
6.      PP Nomor  9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
7.      PP Nomor 10 Tahun 1983 jo.PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil




C.    Asas Hukum Keluarga
Berdasarkan hasil analisis terhadap KUH Perdata dan UU Nomor 1 tahun 1974 dirumuskan beberapa asas yang cukup prinsip dalam Hukum Keluarga, yaitu:
1.      Asas monogamy,[6] asas ini mengandung makna bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang istri hanya boleh mempunyai seorang suami.
2.      Asas konsensual,[7] yakni asas yang mengandung makna bahwa perkawinan dapat dikatakan sah apabila terdapat persetujuan atau consensus antara calon suami-istri yang akan melangsungkan perkawinan.
3.      Asas persatuan bulat, yakni suatu asas dimana antara suami-istri terjadi persatuan harta benda yang dimilikinya.(Pasal 119 KUHPerdata)
4.      Asas proporsional,yaitu suatu asas dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam pergaulan masyarakat.( Pasal 31 UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
5.      Asas tak dapat dibagi-bagi,yaitu suatu asas yang menegaskan bahwa dalam tiap perwalian hanya terdapat seorang wali. Pengecualian dari asas ini adalah:
a.       Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup lebih lama maka kalau ia kawin lagi, suaminya menjadi wali serta/wali peserta[8]
b.      Jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan yang mengurus barang-barang dari anak di bawah umur di luar Indonesia[9][11]
6.      Asas prinsip calon suami istri harus telah matang jiwa raganya.( Pasal 7 UU No.1 Tahun 1974)
7.      Asas monogamy terbuka/poligami terbatas, asas yang mengandung makna bahwa seorang suami dapat beristri lebih dari seorang dengan izin dari pengadilan setelah mendapat izin dari istrinya dengan dipenuhhinya syarat-syarat yang ketat
8.      Asas perkawinan agama, asas yang mengandung makna suatu perkawinan hanya sah apabila dilaksanakan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya masing-masing.( Pasal 31 UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
9.      Asas perkawinan sipil, asas yang mengandung makna bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan dan dicatat oleh pegawai pencatat sipil (kantor catatan sipil), perkawinan secara agama belum berakibat sahnya suatu perkawinan.

D.    Ruang Lingkup Hukum Keluarga
Hukum keluarga memuat rangkaian peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup kekeluargaan. Yang termasuk dalam hukum keluarga antara lain:[10]
1.      Keturunan
Masalah keturunan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 di tentukan dalam pasal 55 bahwa “asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang”. Apabila akta kelahiran tidak ada, pengadilan dapat mengeluarakan penetapan tentang asal-usul anak itu. Dalam pasal 42 dinyatakan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya serta kelaurga ibunya”.
2.      Kekuasaan Orang Tua
Menurut pasal 45 UU No 1/1974 bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya. Kewajiban ini berlaku sampai anaknya menikah atau dapat berdiri sendiri walaupun hubungan hukum perkawinan antara kedua orang tuanya telah putus. Kalau seorang anak telah dewasa ia wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas kalau mereka memerlukan bantuan (pasal 46). Pasal 48 menyatakan bahwa”orang tua tidak diperbolehkan atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum beruur delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya”
Kekuasaan orang tua berhenti apabila:
a.       Anak tersebut telah dewasa (sudah 21 tahun).
b.       Perkawinan orang tua putus.
c.       Kekuasaan orang tua dipecat oleh hakim, misalnya karena pendidikannya buruk sekali.
d.      Kelakuan si anak luar biasa nakalnya hingga orang tuanya tidak berdaya lagi.
Walaupun telah dicabut kekuasaanya, maka orang tua masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak-anaknya (pasal 49).
3.      Perwalian
Anak yatim piatu atau anak yang belum cukup umur dan tidak dalam kekuasaan orang tua memerlukan pemeliharaan dan bimbingan, karena itu harus ditunjuk wali yaitu orang atau perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan hidup anak tersebut. Pasal 51 menyatakan bahwa :
a.       Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan dua orang saksi.
b.      Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak atau orang lain yang telah dewasa, berfikir sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik.
c.       Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormatinya agama dan kepercayaan anak itu.
d.      Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan harta benda anak itu.
e.       Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
4.      Pengampuan
Orang yang sudah dewasa akan tetapi sakit ingatan, pemboros, lemah daya, atau tidak sanggup mengurus kepentingan sendiri dengan semestinya, disebabkan kelakuan burukdi luar batas atau mengganggu keamanan, memerlukan pengampunan. Oleh sebab itu, dibutuhkan Kurator; biasanya suami jadi pengampun atas istrinya atau sebaliknya, akan tetapi mungkin juga Hakim mengangkat orang lain atau perkumpulan sedangkan sebagai Pengampu Pengawas ialah Balai Harta Peninggalan.
5.      Pendewasaan
Pendewasaan merupakan suatu pernyataan bahwa seorang yang belum mencapai usia dewasa atau untuk beberapa hal tertentu dipersamakan kedudukan hukumnya dengan seorang yang telah dewasa.
6.      Perkawinan
Masalah perkawinan, ketentuannya secara rinci telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sahnya perkawinan itu kalau memenuhi syarat pasal 2.
Ayat (1). Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.
Ayat (2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
      Menurut pasal 1 UU No 1 tahun 1974 dinyatakan bahwa ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita dalam membentuk suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal. Akan tetapi, hubungan lahir itu ada kemungkinan tidak dapat kekal. Pada suatu waktu dapat terjadi putusnya hubungan, baik tidak sengaja maupun sengaja dilakukan karena sesuatu sebab yang mengganggu berlanjutnya hubungan itu. Perkawinan dapat putus karena:
a.       Kematian;
b.      Perceraian;
c.       Atas keputusan pengadilan.
Putus karena kematian merupakan suatu proses terakhir dalam melaksanakan kodrat manusia. Namun, putus karena perceraian dan atau atas putusan pengadilan merupakan suatu sebab yang dicari-cari.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Setelah dijelaskan hukum keluarga berasal dari terjemahan kata  familierecht (belanda) atau law of familie (inggris). Istilah keluarga dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak istri, sedangkan dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat dekat. Dan adapun hukum kekeluargaan menurut hukum perdata adalah aturan yang mengatur mengenai keluarga,yang mana di dalam keluarga tersebut banyak mengatur masalah perkawinan, hubungan dan hak serta kewajiban suami istri dalam sebuah rumah tangga, keturunan, perwalian, pengampuan, dan pendewasaan.
Dan Adapun sumber hukum dalam hukum keluarga tersebut ada dua macam, yaitu sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan Ruang lingkup dalam hukum keluarga.



DAFTAR PUSTAKA

Andria, nurmalia. 2013. nurmaliaandriani95.blogspot.co.id/2013/10/hukum-keluarga-menurut-bw-ata (akses tanggal 10 Desember 2015)
Djamali, R. Abdul. 2012. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada

http://makalahhukumperdata.blogspot.co.id/

Sirojuddin, Ahmad. 2014. http://juraganmakalah.blogspot.co.id/2013/04/hukum-keluarga (akses tanggal 10 Desember 2015)



[1] Djamali, R. Abdul.2012. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Hal 1
[2] Sirojuddin, Ahmad.2014. http://juraganmakalah.blogspot.co.id/2013/04/hukum-keluarga (akses tanggal 10 Desember 2015)
[3] Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika,2008)
[4] Hilman Hadi Kusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Cet. III, (PT Alumni, Bandung, 2005)
[5] Sirojuddin, Ahmad.2014. http://juraganmakalah.blogspot.co.id/2013/04/hukum-keluarga (akses tanggal 10 Desember 2015)
[6] Pasal 27 BW dan pasal 3 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
[7] Pasal 28 KUHPerdata dan pasal 6 UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan
[8] Pasal 351 KUHPerdata

[10] Djamali, R. Abdul, op cit, hal 154

Tidak ada komentar:

Posting Komentar