BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Suatu kenyataan hidup bahwa
manusia itu tidak sendiri. Manusia hidup berdampingan, bahkan
berkelompok-kelompok dan sering mengadakan hubungan antarsesamanya. Hubungan
ini terjadi berkenaan dengan kebutuhan hidupnya yang tidak mungkin selalu dapat
dipenuhi sendiri. Kebutuhan hidup manusia bermacam-macam, pemenuhan kebutuhan
hidup tergantung dari hasil yang diperoleh melalui daya dan upaya yang
dilakukan. Setiap waktu manusia ingin memenuhi kebutuhannya dengan baik. Kalau
dalam saat bersamaan dua manusia ingin memenuhi kebutuhan yang sama dengan
hanya satu objek kebutuhan, sedangkan keduanya tidak mau mengalah, bentrokan
dapat terjadi. Suatu bentrokan akan terjadi kalau dalam suatu hubungan, antara
manusia satu dan manusia lain ada yang tidak memenuhi kewajiban.[1]
Oleh karena itu, dibutuhkan hukum
yang mengatur hubungan manusia antar manusia, atau manusia antara kelompok ini
agar dapat mencegah terjadinya suatu bentrokan serta mengatur hak-hak manusia
atau individu. Dalam hal ini dikenal dengan hukum perdata, yaitu hukum yang
mengatur hubungan hukum antar orang yang satu dengan orang yang lain di dalam
masyarakat. Namun dalam hal ini penyusun memfokuskan pembahasan hukum perdata
dalam hal hukum keluarga.
Terbentuknya suatu keluarga itu karena adanya
perkawinan. Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang bahagia. Sehingga
Keluarga dalam arti sempit artinya yaitu sepasang suami istri dan anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan itu, tetapi tidak mempunyai anak juga bisa
dikatakan bahwa suami istri merupakan suatu keluarga.
Sedangkan
definisi hukum kekeluargaan secara garis besar adalah hukum yang bersumber pada
pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini dapat terjadi karena pertalian darah, ataupun terjadi
karena adanya sebuah perkawinan. Hubungan keluarga ini sangat penting karena
ada sangkut paut nya dengan hubungan
anak dan orang tua, hukum waris, perwalian dan pengampuan.[2]
B.
Rumusan
Masalah
1. Pengertian
hukum keluarga?
2. Sumber-sumber
hukum keluarga?
3. Asas-asas
hukum keluarga?
4. Apa
saja yang termasuk dalam hukum keluarga?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hukum Keluarga
Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan kata familierecht (belanda) atau law of familie (inggris).[3]
Istilah keluarga dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak istri,
sedangkan dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat
dekat.[4] Ali
affandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai “Keseluruhan
ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan
sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua,
perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).[5]
Ada dua pokok kajian dalam definisi hukum keluarga yang dikemukakan oleh
Ali Affandi, yaitu mengatur hubungan hukum yang berkaitan (1) kekeluargaan
sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat pada beberapa pada beberapa
orang yang mempunyai leluhur sama, dan (2) perkawinan adalah pertalian keluarga
yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari
istri (suami).
Adapun pendapat-pendapat lain mengenai hukum keluarga, yaitu:
a.
Van Apeldoorn : Hukum keluarga adalah peraturan
hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga
b.
C.S.T Kansil : Hukum keluarga memuat rangkaian
peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup kekeluargaan
c.
R. Subekti : Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur
perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan
d.
Rachmadi Usman : Hukum kekeluargaan adalah
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai hubungan antar pribadi alamiah
yang berlainan jenis dalam suatu ikatan kekeluargaan
B. Sumber Hukum Keluarga
Pada
dasarnya sumber hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber
hukum tertulis dan tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tertulis
adalah sumber hukum yang berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi, dan traktat. Sedangkan sumber hukum tak tertulis adalah sumber
hukum yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Sumber hukum keluarga tertulis, dikemukakan berikut ini
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
2. Peraturan Perkawinan Campuran (Regelijk
op de Gemengdehuwelijk),Stb.1898 Nomor 158
3. Ordonasi perkawinan Indonesia, Kristen, Jawa, Minahasa, dan Ambon, Stb.1933
Nomor 74
4. UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (beragama
Islam)
5. UU Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan
6. PP
Nomor 9 tahun 1975 tentang Peraturan
Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
7. PP Nomor 10 Tahun 1983 jo.PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
C. Asas Hukum Keluarga
Berdasarkan
hasil analisis terhadap KUH Perdata dan UU Nomor 1 tahun 1974 dirumuskan
beberapa asas yang cukup prinsip dalam Hukum Keluarga, yaitu:
1. Asas
monogamy,[6]
asas ini mengandung makna bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri, dan seorang istri hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Asas
konsensual,[7] yakni
asas yang mengandung makna bahwa perkawinan dapat dikatakan sah apabila terdapat
persetujuan atau consensus antara calon suami-istri yang akan melangsungkan
perkawinan.
3. Asas persatuan bulat, yakni suatu asas dimana antara suami-istri terjadi
persatuan harta benda yang dimilikinya.(Pasal 119 KUHPerdata)
4. Asas proporsional,yaitu suatu asas dimana hak dan kedudukan istri adalah
seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan di
dalam pergaulan masyarakat.( Pasal 31 UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
5. Asas tak dapat dibagi-bagi,yaitu suatu asas yang menegaskan bahwa dalam
tiap perwalian hanya terdapat seorang wali. Pengecualian dari asas ini adalah:
a.
Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang
tua yang hidup lebih lama maka kalau ia kawin lagi, suaminya menjadi wali
serta/wali peserta[8]
b.
Jika sampai ditunjuk pelaksana
pengurusan yang mengurus barang-barang dari anak di bawah umur di luar
Indonesia[9][11]
6. Asas prinsip
calon suami istri harus telah matang jiwa raganya.( Pasal 7 UU No.1 Tahun 1974)
7. Asas
monogamy terbuka/poligami terbatas, asas yang mengandung makna bahwa seorang
suami dapat beristri lebih dari seorang dengan izin dari pengadilan setelah
mendapat izin dari istrinya dengan dipenuhhinya syarat-syarat yang ketat
8. Asas perkawinan agama, asas yang mengandung makna suatu perkawinan hanya
sah apabila dilaksanakan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya
masing-masing.( Pasal 31
UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
9. Asas
perkawinan sipil, asas yang mengandung makna bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilaksanakan dan dicatat oleh pegawai pencatat sipil (kantor catatan
sipil), perkawinan secara agama belum berakibat sahnya suatu perkawinan.
D. Ruang Lingkup Hukum Keluarga
Hukum keluarga memuat rangkaian peraturan hukum yang timbul dari
pergaulan hidup kekeluargaan. Yang termasuk dalam hukum keluarga antara lain:[10]
1.
Keturunan
Masalah keturunan menurut Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 di tentukan dalam pasal 55 bahwa “asal-usul seorang anak hanya dapat
dibuktikan dengan akta kelahiran otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang”. Apabila akta kelahiran tidak ada, pengadilan dapat mengeluarakan
penetapan tentang asal-usul anak itu. Dalam pasal 42 dinyatakan bahwa “Anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya serta kelaurga ibunya”.
2.
Kekuasaan Orang Tua
Menurut pasal 45 UU No 1/1974 bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya. Kewajiban ini berlaku sampai
anaknya menikah atau dapat berdiri sendiri walaupun hubungan hukum perkawinan
antara kedua orang tuanya telah putus. Kalau seorang anak telah dewasa ia wajib
memelihara orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas kalau mereka
memerlukan bantuan (pasal 46). Pasal 48 menyatakan bahwa”orang tua tidak
diperbolehkan atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang
belum beruur delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan,
kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya”
Kekuasaan orang tua berhenti apabila:
a.
Anak tersebut telah
dewasa (sudah 21 tahun).
b.
Perkawinan orang tua
putus.
c.
Kekuasaan orang tua
dipecat oleh hakim, misalnya karena pendidikannya buruk sekali.
d.
Kelakuan si anak
luar biasa nakalnya hingga orang tuanya tidak berdaya lagi.
Walaupun telah dicabut kekuasaanya, maka orang
tua masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada
anak-anaknya (pasal 49).
3.
Perwalian
Anak yatim piatu atau anak yang belum cukup umur dan tidak dalam
kekuasaan orang tua memerlukan pemeliharaan dan bimbingan, karena itu harus
ditunjuk wali yaitu orang atau perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan
hidup anak tersebut. Pasal 51
menyatakan bahwa :
a.
Wali
dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum
ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan dua orang saksi.
b.
Wali
sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak atau orang lain yang telah dewasa,
berfikir sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik.
c.
Wali
wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya
sebaik-baiknya dengan menghormatinya agama dan kepercayaan anak itu.
d.
Wali wajib membuat
daftar harta benda yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai
jabatannya dan mencatat semua perubahan harta benda anak itu.
e.
Wali
bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya
serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
4.
Pengampuan
Orang yang sudah dewasa akan tetapi sakit ingatan, pemboros, lemah daya,
atau tidak sanggup mengurus kepentingan sendiri dengan semestinya, disebabkan
kelakuan burukdi luar batas atau mengganggu keamanan, memerlukan pengampunan.
Oleh sebab itu, dibutuhkan Kurator; biasanya suami jadi pengampun atas istrinya
atau sebaliknya, akan tetapi mungkin juga Hakim mengangkat orang lain atau
perkumpulan sedangkan sebagai Pengampu Pengawas ialah Balai Harta Peninggalan.
5.
Pendewasaan
Pendewasaan
merupakan suatu pernyataan bahwa seorang yang belum mencapai usia dewasa atau
untuk beberapa hal tertentu dipersamakan kedudukan hukumnya dengan seorang yang
telah dewasa.
6.
Perkawinan
Masalah
perkawinan, ketentuannya secara rinci telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 yang dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
Pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sahnya perkawinan itu kalau memenuhi syarat pasal 2.
Ayat (1). Perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.
Ayat (2). Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut
pasal 1 UU No 1 tahun 1974 dinyatakan bahwa ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita dalam membentuk suatu rumah tangga yang bahagia dan
kekal. Akan tetapi, hubungan lahir itu ada kemungkinan tidak dapat kekal. Pada
suatu waktu dapat terjadi putusnya hubungan, baik tidak sengaja maupun sengaja
dilakukan karena sesuatu sebab yang mengganggu berlanjutnya hubungan itu.
Perkawinan dapat putus karena:
a.
Kematian;
b.
Perceraian;
c. Atas
keputusan pengadilan.
Putus karena
kematian merupakan suatu proses terakhir dalam melaksanakan kodrat manusia.
Namun, putus karena perceraian dan atau atas putusan pengadilan merupakan suatu
sebab yang dicari-cari.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah
dijelaskan hukum keluarga
berasal dari terjemahan kata
familierecht (belanda) atau law of familie (inggris). Istilah keluarga
dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak istri, sedangkan dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau
anggota kerabat dekat. Dan adapun hukum
kekeluargaan menurut hukum perdata adalah aturan yang mengatur mengenai
keluarga,yang mana di dalam keluarga tersebut banyak mengatur masalah
perkawinan, hubungan dan hak serta kewajiban suami istri dalam sebuah rumah
tangga, keturunan, perwalian, pengampuan, dan pendewasaan.
Dan Adapun sumber hukum dalam hukum keluarga
tersebut ada dua macam, yaitu sumber
hukum tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan Ruang lingkup dalam hukum
keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Andria,
nurmalia. 2013. nurmaliaandriani95.blogspot.co.id/2013/10/hukum-keluarga-menurut-bw-ata
(akses tanggal 10 Desember 2015)
Djamali, R. Abdul. 2012. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta:
Rajagrafindo Persada
http://makalahhukumperdata.blogspot.co.id/
Sirojuddin, Ahmad. 2014. http://juraganmakalah.blogspot.co.id/2013/04/hukum-keluarga
(akses
tanggal 10 Desember 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar